Malam itu, hujan turun deras membasahi jalanan Rangkasbitung yang lengang. Langit yang biasanya cerah kini tertutup oleh awan gelap, seolah enggan menampilkan cahayanya. Di salah satu sudut kota, seorang perempuan berdiri di bawah atap halte bus tua dan lapuk. Maya sendirian, ia merasa begitu asing di kota yang selama ini ia sebut sebagai rumah.
Maya sudah hidup di Rangkasbitung sejak kecil. Namun sejak lulus kuliah Ketika ia kembali ke kota ini, semuanya terasa berbeda. Ia pernah bermimpi untuk bekerja di sebuah perusahaan besar, punya karir yang cemerlang, dan membanggakan kedua orang tuanya. Namun kenyataan tak pernah sesuai dengan rencananya. Tiga tahun sudah, dan tidak ada satu pun yang berhasil. Setiap pekerjaan yang ia coba, setiap impian yang ia kejar, selalu berakhir dengan kegagalan.
“Kenapa selalu gagal?” batinnya, sambil menatap lekat-lekat jalanan yang basah di depannya. Matanya kosong, pikirannya melayang entah ke mana.
Di setiap wawancara kerja yang ia hadiri, pertanyaan yang sama selalu datang: “Apa pengalaman kerja Anda?” Maya hanya bisa menjawab dengan senyum kaku, menyadari bahwa dirinya hanyalah satu dari banyak orang yang tak punya pengalaman apa-apa selain ijazah di tangannya. Meski nilai akademiknya tinggi, meski ia rajin dan disiplin, dunia kerja seolah tak pernah membuka pintu untuknya.
Dan tak hanya soal pekerjaan. Dalam kehidupannya pun, Maya merasa semakin terasing. Teman-teman satu angkatannya sudah banyak yang berhasil, ada yang bekerja di Jakarta, ada pula yang sudah menikah dan berkeluarga. Sementara dirinya, tetap sendiri, terjebak dalam kesepian yang semakin hari semakin menggerogoti.
Ia merogoh kantong tasnya, mengeluarkan ponsel yang sudah mati kehabisan baterai. Ia ingin menelepon ibunya, menceritakan betapa lelahnya ia menjalani semua ini. Namun suara ibunya yang selalu penuh harapan membuat Maya semakin berat membuka mulut. Ibu yang selalu berkata, “Sabar ya, Nak. Semua akan ada jalannya.” Tapi kali ini, Maya tak lagi yakin. Sampai kapan ia harus sabar? Sampai kapan ia harus menunggu dalam kegelapan?
Bus yang ia tunggu tak juga datang. Waktu semakin larut, dan Maya tak tahu harus ke mana. Tempat tinggalnya di kost yang sempit, yang dulu terasa seperti rumah, kini hanya terasa dingin dan hampa. Di tempat itu, tidak ada yang menunggunya. Tidak ada kehangatan, tidak ada senyuman. Semuanya terasa asing, bahkan dirinya sendiri.
Ia melangkah keluar dari halte, membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Dingin menyusup ke dalam tulang, namun itu lebih baik daripada perasaan kosong yang tak henti-hentinya menghantui. Di bawah derasnya hujan, Maya berjalan tanpa arah, seperti kapal yang hilang di tengah badai, tanpa tujuan, tanpa pelabuhan.
Sesekali ia berpapasan dengan orang-orang yang berlari mencari perlindungan dari hujan, namun tak satu pun memperhatikannya. Seolah ia benar-benar tidak ada. Maya merasa terasing, bukan hanya dari kotanya, tapi dari dirinya sendiri. Ia sudah tidak mengenali siapa dirinya. Apa yang ia perjuangkan selama ini? Apa arti semua kegagalan yang ia alami?
Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, bukan karena hujan, tapi karena beban di hatinya yang semakin menumpuk. Ia lelah. Lelah dengan segala usaha yang tak membuahkan hasil, lelah dengan harapan yang selalu hancur, dan lelah karena merasa tidak pernah cukup, untuk siapa pun, bahkan untuk dirinya sendiri.
Maya berhenti di tengah jalan, membiarkan air mengalir dari rambutnya, membasahi seluruh tubuhnya. Di sana, di tengah hujan yang deras, ia akhirnya menangis. Tangisan yang selama ini tertahan, yang ia simpan di balik senyuman palsu dan kata-kata semangat yang tak pernah ia yakini sepenuhnya. Tangisan itu keluar seperti bendungan yang jebol, membawa semua rasa sakit, kecewa, dan kekalahan yang ia rasakan selama bertahun-tahun.
Di kota ini, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, Maya merasa seperti orang asing. Tidak ada yang memahaminya, tidak ada yang bisa ia ajak berbagi. Bahkan dirinya sendiri, seolah telah hilang dalam derasnya kegagalan dan ketidakpastian.
Hujan masih terus turun, seakan menenggelamkan seluruh perasaan di hatinya. Namun, di balik semua itu, di antara air mata yang mengalir, Maya tahu satu hal: ia tak bisa terus seperti ini. Ia mungkin merasa asing, mungkin gagal berkali-kali, tapi ia tidak boleh menyerah. Dunia mungkin tidak peduli padanya, tapi setidaknya ia masih punya dirinya sendiri. Meski sekarang terasa berat, meski jalannya masih gelap, Maya tahu bahwa suatu hari, ia akan menemukan caranya sendiri untuk bertahan.
Namun untuk malam ini, ia biarkan dirinya larut dalam tangis. Tangis seorang asing di tanahnya sendiri, yang terus mencari tempat di dunia yang tak pernah benar-benar ia pahami.