Balada Anak Kost-an

Part 1

Sebagai anak kost yang tidak pernah dapat kiriman uang, hanya mengandalkan bekerja secara serabutan dan tidak ada kepastian income, berhemat adalah jalan ninja yang harus ditempuh. bagi kami, amatlah sangat tidak bijaksana jika ada cebanan yang habis sia-sia hanya untuk sekedar beli kopi kekinian atau jajanan ringan yang tidak memberikan efek kenyang lebih dari 4 jam.

Ceban bagi kami adalah sumber kekuatan jika dimanifestasikan menjadi sebungkus nasi uduk, ataupun nasi warteg meskipun hanya dengan sedikit oreg plus gorengan ditambah kuah dan sambel melimpah. Dalam situasi kritis dimana benar-benar tidak punya duit alias bokek.

Ceban yang terselip dalam celana harian dan baru ketemu itulah bisa menjadi sumber harapan terakhir, sambil menunggu pertolongan yg tergerak melalui tangan ghaib, atau makhluk yang sengaja tuhan kirim bak malaikat penolong.

Namun gimanapun cara kami berhemat tetap saja karena tidak ada pendapatan yang stabil, kaum kosan gembel seperti kami sering dan bahkan akrab dengan penyakit semacam asam lambung dan maag.

Entah siapa yang melabeli, tapi asam lambung dan maag menjadi predikat nomer Wahid sebagai ikon penyakit anak kost, meski mungkin harus di garis bawahi, yang dimaksud anak kost disini adalah anak kos-kosan gembel semacam kami ini.

Meski diselimuti kengerian , karena penyakit semacam ini bukanlah main-main, urusannya nyawa, namun ada saja cara dari kami untuk tetap optimis dan positif thinking yang akhirnya berbuah makna-makna filosofis tersendiri ketika penyakit  kami kumat.

Menurut alvin “asam lambung adalah perjalanan spiritual yang menjadi titik balik kita dalam mengingat tuhan”.

Beda halnya dengan romi, dia beranggapan bahwa “asam lambung adalah ujian untuk naik level karena dia percaya tidak ada sebuah kebahagiaan yang terlewat tanpa penderitaan terlebih dahulu.”

Bagiku asam lambung tetaplah asam lambung, penyakit yang diakibatkan tidak disiplinnya diri sendiri dalam manajemen kesehatan. Banyak merokok, ngopi dan begadang tanpa memikirkan efek samping adalah pemicu utama yang harusnya dihindari atau diminimalisir.

Kami bertiga adalah golongan kosan gembel yang sejak awal cerita ini ditulis seolah kesusahan dan kesengsaraan telah menjadi bagian hidup yang lekat pada kami.

Namun begitulah sebagai anak muda yang mempunyai impian masing-masing, kami bertiga berusaha sekeras mungkin melewati kehidupan dari hari ke hari, hingga sampai saat ini 7 tahun sudah terlewati ditanah rantau.

Tak pernah terbayang sebelumnya diantara kami untuk menjalani kehidupan semacam ini ditanah rantau. Ekspektasi kami ketika merantau dulu adalah, mencari kerja, dan mendapat gaji tetap , membangun karir lalu menikah dan bahagia.

bersambung…..

Loading

Share: