Gerimis yang menggantung di langit Kota Serang seakan menanti jatuhnya sisa-sisa hujan semalam. Di pasar lama, orang-orang sibuk dengan kegiatan pagi mereka, tawa riang pedagang dan pembeli menyatu dengan riuh rendah suara kendaraan yang melintas. Seorang lelaki paruh baya berdiri di tepi jalan, sorot matanya kosong menatap jauh ke arah gunung Karang yang samar terlihat dari kejauhan.
“Buah Mangga! Buah Mangga!” teriak seorang pedagang buah yang melintas di depannya, namun lelaki itu tak menggubris. Nama lelaki itu Salim, seorang mantan nelayan yang dulu hidupnya bergantung pada perahu tua di pantai Anyer. Kini, ia tinggal di pinggiran Serang, berjualan gorengan seadanya di depan terminal. Sudah lama sejak perahunya hancur diterjang badai, kenangan pahit yang membuatnya memilih pergi meninggalkan laut dan mendekati hiruk-pikuk kota yang terus berkembang ini.
Tapi, hari ini, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di seberang jalan, ia melihat seorang perempuan muda berdiri di depan sebuah toko buku tua. Perempuan itu tampak ragu-ragu, seakan enggan memasuki toko yang sudah lama terabaikan, tapi matanya tidak pernah lepas dari etalase kaca yang memajang buku-buku lama.
Perlahan, Salim melangkah mendekat. Ia mengenal toko itu. Toko yang dulu sering ia singgahi ketika masa-masa kejayaannya sebagai nelayan. Dulu, ia sering membeli buku untuk anaknya yang kini sudah merantau ke Jakarta. Ah, betapa cepat waktu berlalu.
“Sedang mencari buku?” Salim bertanya ketika sudah cukup dekat dengan perempuan itu. Perempuan itu menoleh, tersenyum tipis.
“Iya, Pak. Saya sedang mencari buku tentang sejarah Banten. Toko ini masih buka?”
Salim terdiam sejenak. Toko itu sudah lama sepi, pemiliknya sudah tua dan jarang datang lagi.
“Kalau soal sejarah Banten, banyak cerita di sini,” ucap Salim, sambil melirik ke arah gunung Karang yang samar. “Tapi kalau buku, mungkin sudah jarang ada.”
Perempuan itu menghela napas, sedikit kecewa. “Padahal saya ingin sekali tahu lebih banyak tentang Banten. Banyak yang bilang, sejarah Banten punya kaitan kuat dengan jati diri orang-orang di sini.”
“Betul,” Salim mengangguk. “Banten ini tidak hanya soal Sultan atau keraton, tapi juga tentang laut, pegunungan, dan orang-orang biasa seperti kami yang hidup di sela-sela gemuruh sejarah.”
Perempuan itu terdiam sejenak, seakan mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Salim. Ada rasa ingin tahu yang menguat di balik sorot matanya. “Bapak tinggal di sini lama?”
“Seumur hidup,” jawab Salim. “Serang ini sudah berubah, tapi ada hal-hal yang tidak pernah berubah. Semangatnya, alamnya. Sama seperti ketika nenek moyang kami melaut di Anyer, atau ketika para petani memandang gunung Karang dengan harapan.”
Mereka berdua berdiri dalam diam, memandang jalanan kota yang perlahan mulai basah oleh gerimis. Di balik hiruk-pikuk modernitas Serang, terasa ada yang tersisa. Sesuatu yang sederhana tapi mendalam seperti riak kecil di atas lautan.
Perempuan itu tersenyum pada Salim, seakan mengucapkan terima kasih untuk pelajaran singkat tentang tanah ini. “Terima kasih, Pak. Mungkin saya tak perlu buku untuk memahami Banten. Kisah-kisah seperti yang Bapak ceritakan jauh lebih hidup.”
Salim mengangguk, senyum tipis di bibirnya. “Hati-hati di jalan, Neng.”
Perempuan itu melangkah pergi, sementara Salim berdiri memandangnya hingga hilang di tikungan jalan. Gerimis semakin deras, membasahi jalanan Serang yang mulai sibuk. Salim kembali ke lapak gorengannya, menanti pelanggan berikutnya dengan pikiran yang melayang pada masa lalu pada laut yang tak pernah benar-benar ia tinggalkan, dan kota yang selalu menyimpan banyak cerita di balik hiruk-pikuknya.
Di antara gerimis dan cerita-cerita yang terpendam, Serang tetap menjadi kota yang menyimpan kenangan, harapan, dan kekuatan yang tak pernah pudar. Seperti halnya laut dan gunung, yang meski jauh dan terasing, tetap memanggil hati orang-orang yang terikat padanya.