Gak Korup Gak Keren

Di tengah kota bernama Toleransi, yang ironisnya tak memiliki sedikit pun sikap toleran terhadap kejujuran, ada satu hukum yang tak tertulis tapi dijalani dengan sepenuh hati: “Jika kau tidak korupsi, hidupmu sia-sia.” Di sini, korupsi bukan hanya dibiasakan, tapi dirayakan. Orang yang tidak korupsi? Ah, mereka dianggap orang aneh, hina, atau lebih parah lagi, sosok yang terasingkan dari pergaulan.

Pak Budi, seorang pegawai negeri sipil di Kota Toleransi, merupakan salah satu orang yang paling tidak menonjol. Namun bukan karena ia malas atau tak cakap dalam pekerjaannya. Sebaliknya, Pak Budi adalah satu-satunya pegawai di kotanya yang tidak pernah korupsi. Ia datang ke kantor tepat waktu, bekerja sesuai tanggung jawab, dan pulang tanpa pernah “menyelipkan” uang rakyat ke kantong pribadinya. Hal ini membuatnya menjadi bahan tertawaan rekan-rekannya.

“Pak Budi, kapan mau naik pangkat kalau kerja terus kayak gitu? Enggak ngambil ‘jatah’ juga, buat apa?” celetuk Pak Joko, rekan kerjanya, sambil tertawa keras.

Pak Budi hanya tersenyum kecut, mencoba tak ambil pusing dengan sindiran itu. Baginya, hidup sederhana dengan integritas lebih berharga daripada uang haram yang tak jelas asal-usulnya. Tapi, siapa peduli di Kota Toleransi? Di kota ini, standar hidup adalah seberapa besar uang yang bisa kau ‘sedot’ dari anggaran pemerintah. Bahkan di kantin kantor, ada daftar harga kopi spesial bagi pegawai yang mau memberikan “tips” lebih ke petugas kantin. Tanpa tips, cangkir kopimu akan terasa lebih pahit, sesedikit pun gula yang kau minta.

***

Suatu hari, kabar mengejutkan datang dari ruangan kepala dinas. Kota Toleransi akan mengadakan sebuah penghargaan tahunan bernama “Pegawai Teladan Sejati”. Di sini letak kekonyolan itu. Semua orang tahu bahwa “pegawai teladan” di kota ini berarti mereka yang paling lihai menyembunyikan uang haram mereka, atau yang paling cerdas berkelit dari pengawasan. Dan siapa yang tak menyangka? Pak Joko, rekan Pak Budi yang terkenal licik, langsung menjadi kandidat terkuat.

“Kota ini memang adil! Orang yang tahu cara main, orang yang paham cara memutar uang, ya, itulah pegawai teladan!” seru Pak Joko bangga di depan teman-temannya. Mereka tertawa puas, meminum kopi kantin sambil berbincang tentang “investasi” terbaru mereka dari anggaran dinas yang baru saja turun.

Namun Pak Budi hanya diam. Dalam hati kecilnya, ia merasa ada yang salah. Kota ini sudah terlalu jauh terperosok dalam kubangan kebohongan dan ketidakjujuran. Apakah benar bahwa hidup jujur sudah tidak punya tempat di sini? Di rumah, ia merenung. Istrinya, Bu Ratna, sering menyuruhnya untuk “ikut arus” saja, karena mereka sudah mulai kesulitan membayar sekolah anak-anak mereka. “Kamu pikir idealisme bisa bayar SPP?” sering Bu Ratna berujar sambil memelototkan mata.

Tapi bagi Pak Budi, tetap hidup jujur adalah satu-satunya cara ia bisa tidur nyenyak di malam hari. Ia tidak sanggup membayangkan hidup dengan menipu orang lain. “Biar saja, Na. Harta haram itu tak akan membawa berkah. Hidup kita mungkin susah, tapi aku tak mau jual diri demi uang,” katanya, meski semakin hari semakin merasa sendirian dalam keyakinannya.

***

Di hari penganugerahan “Pegawai Teladan Sejati”, kantor dipenuhi dengan hiasan mewah dan hidangan yang melimpah. Semua pegawai mengenakan baju terbaik mereka, kecuali Pak Budi yang hanya mengenakan kemeja polos tua. Pak Joko, yang sudah yakin akan menang, berdiri di barisan depan dengan senyum lebar. Ia bahkan sudah mempersiapkan pidato kemenangan yang isinya bukan tentang kerja keras, melainkan tentang ‘kecerdikan’ mengakali sistem.

Saat nama pemenang diumumkan, suasana mendadak hening. “Dan penghargaan Pegawai Teladan Sejati tahun ini jatuh kepada… Pak Budi!” Suara pembawa acara yang menggelegar membuat semua mata langsung tertuju padanya.

Pak Joko yang tadi tersenyum lebar langsung tersentak. “Apa? Pak Budi? Orang jujur itu? Bagaimana bisa?” gumamnya.

Pak Budi sendiri tidak percaya. Ia maju dengan langkah gugup ke atas panggung, sementara orang-orang berbisik-bisik heran. Sejak kapan kejujuran mendapat tempat di Kota Toleransi? Bagaimana mungkin orang yang tidak pernah korupsi bisa menang?

Ternyata, Walikota yang baru saja dilantik adalah seorang yang masih polos, belum paham dengan tradisi panjang korupsi di kota ini. Ia mengira penghargaan “Pegawai Teladan Sejati” benar-benar tentang kejujuran dan dedikasi, bukan permainan licik di belakang layar. Ketika ia menandatangani surat penghargaan, ia memilih Pak Budi, satu-satunya pegawai dengan catatan bersih tanpa skandal apa pun.

Saat naik ke podium untuk menerima penghargaan, Pak Budi tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Ia mengucapkan pidato singkat tentang pentingnya hidup jujur dan bekerja dengan penuh integritas. Namun, bukannya mendapat tepuk tangan meriah, ia malah disambut dengan tatapan sinis dan ejekan pelan dari para hadirin.

“Lihat saja. Setelah ini, dia pasti jatuh. Orang jujur mana bisa bertahan di kota ini,” salah satu pegawai berbisik.

***

Seminggu setelah penganugerahan, rumor tentang Pak Budi mulai beredar di kantor. Ia disebut-sebut sebagai “sosok aneh yang merusak sistem”. Rekan-rekannya menjauhinya, dan semakin banyak yang berharap ia segera keluar dari pekerjaannya. Walikota yang polos pun mulai sadar bahwa memberikan penghargaan kepada orang jujur bukanlah langkah yang populer.

Benar saja, tekanan mulai datang dari berbagai arah. Proyek-proyek yang biasanya berjalan lancar, kini sengaja dihambat oleh rekan-rekan Pak Budi. Mereka menolak bekerja sama dengannya, dan ada pula yang diam-diam menyabotase pekerjaannya. Pak Budi semakin terpuruk. Di kantornya, kejujuran dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas “kesejahteraan” para pegawai.

Suatu hari, saat Pak Budi sedang bekerja lembur sendirian, datanglah Pak Joko dengan senyum sinis. “Budi, kalau kamu terus-terusan begini, kamu akan sendirian. Di kota ini, hidup jujur bukan pilihan yang bisa kamu ambil kalau mau selamat. Mau sampai kapan kamu bertahan?”

Pak Budi hanya menatapnya tanpa kata. Ia tahu, mungkin ia tak akan bertahan lama di Kota Toleransi. Tapi di dalam hati kecilnya, ia percaya bahwa tak semua harus diukur dengan uang dan kekuasaan.

***

Tak lama setelah itu, Pak Budi memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia tidak ingin hidup dalam kepalsuan dan tekanan dari sistem yang korup. Ia pindah ke desa kecil di luar kota, membuka usaha warung kecil-kecilan, dan hidup dengan tenang bersama keluarganya.

Sementara itu, di Kota Toleransi, korupsi tetap merajalela. Pak Joko akhirnya mendapat penghargaan yang ia impikan. Dan kehidupan terus berjalan, dengan cara yang tak berubah—karena di kota itu, hidup normal dan jujur dianggap sebagai hal yang tidak mungkin.

Loading

Share: