Pertemuan ini, seolah takdir yang diam-diam telah ditulis di langit. Sebagai manusia, apa dayaku? Aku tak lebih dari wayang yang digerakkan oleh Sang Dalang. Maka, di sinilah aku, bertemu dengannya lagi setelah puluhan tahun dipisahkan oleh garis nasib. Wajahnya, senyumannya, waktu tampaknya tak menyentuhnya. Ia masih Linda yang dulu.
“Apakah kamu bahagia selama bersamanya?” Tiba-tiba, pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Aku terdiam sejenak.
“Aku mencoba,” jawabku, “Tapi setiap kali cinta itu ingin muncul, ia tenggelam lagi. Entah kenapa. Kau pernah merasa begitu?”
Ia tersenyum, tak menyahut. Senyumnya itu… seolah memberiku isyarat bahwa aku telah salah paham, mengira ia selama ini mencintai suaminya dengan sepenuh hati.
“Apakah kau merasa aku bahagia bersamanya?” Linda bersandar di pagar tepi Sungai Thames. Langit London mulai kelabu, tapi gemerlap lampu Buckingham Palace tampak memikat di kejauhan. Menara Big Ben berdiri kokoh, seperti saksi bisu pembicaraan kami.
“Sepertinya kau bahagia.”
Mendung itu tak lagi kami pedulikan, asal jangan turun hujan, pikirku. Angin kota London membelai wajah Linda—wajah yang tak berubah sejak SMP. Saat itu, ia adalah gadis yang membuatku mengerti arti cinta pertama.
“Di depan keluarganya, aku berpura-pura. Sama ketika berada di acara kantornya atau bersama teman-temannya. Tapi cinta… tak bisa dipaksa, Zam,” suara Linda meredup, hilang ditelan deru kapal yang melintas di Sungai Thames.
Walau hari sudah senja, London tetap hidup. Para pelancong tak henti-hentinya berjalan, berfoto, menikmati pesona kota. Kota yang menyimpan sejarah. Entah bagaimana, aku dan Linda bisa bertemu lagi di tempat ini, seakan takdir sengaja mempertemukan kami. Dulu, aku berusaha melupakan Linda. Bahkan, namanya kuhapus dari semua kenangan. Tapi setelah dia menikah dengan lelaki yang tak dicintainya, aku tak mendengar kabarnya lagi. Dan aku? Aku pun akhirnya menikahi perempuan yang juga tak kucintai.
Kehidupanku sebagai guru sastra berjalan tenang, biasa saja. Sebagai suami, tanggung jawabku adalah membuat istriku bahagia. Kebutuhannya kucukupi meski kadang harus menunggu akhir bulan untuk menerima gaji. Tak jarang, istriku berutang di warung dekat rumah. Kami melunasi setelah gajiku cair.
Sebelum menjadi guru, aku bekerja sebagai editor di majalah sastra online di Jogja. Namun, kutinggalkan pekerjaan itu demi tak jauh dari istriku. Kini aku mengajar, berkat rekomendasi dari seorang teman kuliah yang kini menjadi kepala sekolah di yayasan keluarganya.
“Kau masih sama,” gumamku, menatap Linda. “Sama seperti dulu.”
Linda tertawa pelan. “Mungkin aku sedikit gemukan, ya?”
Aku tertawa juga. “Tidak. Kau masih cantik, padat berisi, Linda yang sama.”
Kami terdiam sejenak. Hanya suara sungai dan riuh kota yang menemani.
“Kau tahu kenapa kita dipertemukan lagi?” tanyanya tiba-tiba. “Mungkin langit lebih merestui kita daripada pernikahan kita sekarang.”
“Zam…” suaranya lembut, memanggilku seperti dulu.
“Mmm?” aku menoleh ke arahnya.
“Jujur saja…” ia menatapku dalam-dalam, seolah ingin mengatakan sesuatu yang telah lama dipendam.
“Jujur apa?” tanyaku pelan.
“Saat aku melayani suamiku… aku tak pernah sepenuhnya bisa. Bahkan saat aku hamil, aku menjaga bayi di perutku dengan setengah hati. Menurutmu, apakah aku berdosa?”
Aku hanya bisa menatapnya, mencari jawaban dalam kegelapan yang mulai menyelimuti kota London. “Bukankah Nabi pernah berkata, seorang wanita sebaiknya tak menikah dengan lelaki yang tak dicintainya?”
“Itu karena wasiat ayahku. Dia sudah janji pada ayah suamiku. Aku hanya menjalankan kewajiban sebagai anak.”
Malam semakin larut. Kami kembali ke hotel yang menghadap Sungai Thames. Di balkon, kami terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Apakah kamu masih mencintaiku, Zam?”
“Aku akan mencintaimu, jika suamimu melepasmu dan istriku kuberikan kebebasan yang sama.”
Hujan mulai turun, dan di bawah hujan Desember itu, kami merasakan kembali perasaan yang dulu pernah mengikat kami. Seperti waktu memutar kembali kisah yang belum selesai.