Jujur Itu Melelahkan

Aku selalu percaya bahwa kejujuran adalah jalan pintas menuju kebahagiaan. Itu yang aku pelajari sejak kecil, dan itu yang selalu diterapkan dalam hidupku. Tapi, semakin jauh aku melangkah, semakin aku sadar, kejujuran tak selalu membawamu ke tempat yang lebih baik. Terkadang, justru kejujuran yang membawamu terpuruk lebih dalam.

***

Aku, Asep, seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan yang lebih mirip hutan belantara. Di sana, ada dua jenis manusia: mereka yang pintar berbohong dan hidup nyaman, serta mereka yang seperti aku, keras kepala dalam kejujuran, terjebak dalam rasa sakit dan pengabaian.

Tapi aku tak menyerah. Aku percaya, jika aku tetap jujur, cepat atau lambat aku akan sampai pada kemenangan. Sampai hari itu tiba.

“Asep, kamu yakin dengan semua ini?” tanya Pak Azis, atasan yang selalu tampak berwibawa di balik jas mahalnya.

Di meja depanku, laporan keuangan perusahaan tergeletak. Angka-angka itu tak bisa menipu. Ada selisih jutaan rupiah yang hilang. Dan aku tahu siapa pelakunya.

“Ya, Pak. Saya yakin,” jawabku tegas, meski aku bisa merasakan jantungku berdetak tak karuan.

Pak Azis mengangguk pelan. Di sampingnya, ada Abi, rekan kerja yang selama ini kucurigai. Dia adalah karyawan yang licin, selalu bermain aman di hadapan semua orang. Senyumnya selalu hangat, tapi aku tahu di balik itu ada sesuatu yang busuk. Bukti-bukti yang dikumpulkan selama ini mengarah padanya.

“Abi, apa kamu mau menjelaskan sesuatu?” tanya Pak Azis, suaranya datar namun tajam.

Abi tersenyum tipis, seperti biasanya. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan, seakan-akan aku hanyalah sebuah pion kecil dalam permainannya. “Asep, kamu benar-benar yakin dengan tuduhanmu ini?”

Aku meneguk ludah. “Angka-angka tidak berbohong. Laporan ini sudah jelas,” ujarku mantap.

Dia tertawa kecil, sinis. “Angka memang tidak berbohong, tapi orang bisa.”

***

Keesokan harinya, aku dipanggil ke ruang direksi. Ada sesuatu yang berbeda di atmosfer kantor hari itu, seakan-akan ada sesuatu yang tak kasat mata menekan bahu-bahuku. Aku duduk di depan tiga orang yang memimpin perusahaan ini. Mata mereka tajam, menghakimi.

“Asep, setelah penyelidikan lebih lanjut, kami menemukan beberapa kejanggalan dalam laporan yang kamu serahkan,” kata salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut sebahu dan sikap dingin.

Kejanggalan? Jantungku serasa berhenti. “Maaf, Pak, Bu. Kejanggalan seperti apa maksudnya?”

Pak Azis, yang duduk di ujung meja, akhirnya bicara. “Kami mendapati bahwa ada beberapa dokumen yang kamu manipulasi. Angka-angka yang tidak sesuai dengan catatan kami, seakan-akan kamu sengaja menuduh seseorang yang tidak bersalah.”

Aku membeku. Dunia di sekelilingku seperti berputar cepat. “Itu… tidak mungkin. Semua yang saya berikan adalah data asli!”

“Bukti-bukti menunjukkan sebaliknya,” ujar wanita itu dingin. “Abi sudah kami periksa, dan dia ternyata bersih.”

Aku bisa merasakan darahku berdesir. “Tapi… tapi saya yakin! Saya jujur! Semua ini salah!”

Pak Azis menatapku tajam. “Mungkin kamu merasa benar, Asep. Tapi kebenaran yang kamu pegang itu keliru. Kami tidak bisa lagi mempercayaimu.”

Akhirnya, aku dipecat. Semua yang kubangun dengan jujur, runtuh dalam sekejap. Aku diusir dari tempat yang kuanggap sebagai batu loncatan karir. Aku ditinggalkan oleh teman-teman yang dulu seakan mendukungku. Mereka semua diam, seolah-olah tak pernah ada Asep yang jujur dan loyal.

Malam itu, aku duduk di bangku taman sendirian, memandangi bintang-bintang yang jauh, dingin, dan sepi. Pikiranku terus berputar, mencari makna di balik semua ini. Kejujuranku yang selama ini kubanggakan ternyata tak membawa kebaikan apa pun. Justru, ia menjadi senjata yang menusukku dari belakang.

Saat itulah Abi datang. Ia berdiri di depan bangku tempatku duduk, dengan senyum khasnya yang menebar rasa tak nyaman. “Asep, kamu masih tak paham, ya?”

Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan kemarahan yang tertahan. “Apa maksudmu?”

“Di dunia ini, jujur itu melelahkan, teman,” katanya ringan, seakan-akan aku ini anak kecil yang perlu diajari aturan main hidup.

“Dan, lihatlah, hasilnya? Kamu kalah. Semua orang tahu siapa yang benar, tapi apa yang kamu dapat? Hanya kesepian.”

Aku mendengus. “Kau yang memanipulasi semuanya. Kau yang berbohong.”

Dia tertawa. “Mungkin. Tapi dalam permainan ini, bukan soal siapa yang benar, Asep. Ini soal siapa yang bertahan sampai akhir.”

Aku terdiam. Rasanya seperti kepingan diriku hancur, satu per satu.

“Jangan salahkan dirimu, Asep. Kejujuran itu mulia, tapi dunia ini tidak dibuat untuk orang yang jujur. Dunia ini dibuat untuk mereka yang tahu kapan harus diam dan kapan harus bergerak. Kau salah satu orang baik, tapi terlalu baik untuk dunia ini.”

Dia berbalik, meninggalkanku dengan kata-kata itu menggantung di udara. Malam semakin dingin, seolah ikut merasakan kekosongan dalam hatiku.

Di saat itulah aku menyadari satu hal: kebenaran yang kubawa terlalu berat, dan kejujuran memang melelahkan. Mungkin… ada kalanya berbohong lebih mudah. Mungkin, ada kalanya menjadi baik tak selalu berarti menang.

Dan saat itu, aku berhenti berjuang.

Loading

Share: