Pendidikan Menye-Menye

Di sebuah kota kecil yang tak begitu terkenal, berdirilah sebuah sekolah bernama SDN Merdeka. Nama yang gagah, tapi kenyataannya tak sebanding dengan keadaan sekolahnya. Gedung sekolahnya sudah tua, cat temboknya mengelupas, dan bangkunya sering kali patah karena dimakan usia. Namun, yang lebih parah dari itu semua adalah sistem pendidikan di sana, yang tak pernah berjalan dengan baik.

SDN Merdeka dikenal dengan aturan yang fleksibel. Terlalu fleksibel, malah. Pagi-pagi, biasanya anak-anak datang terlambat, tapi tak ada yang peduli. Guru-guru pun jarang datang tepat waktu. Bahkan, kadang ada guru yang baru tiba di sekolah ketika waktu sudah mendekati jam pulang. Dan kalaupun mereka datang tepat waktu, mengajar pun sering kali seadanya.

“Ah, capek! Ayo, kita nonton saja!” kata Bu Sri, guru kelas 6, suatu hari. Tanpa banyak tanya, para murid bersorak gembira. Mereka sudah terbiasa dengan pelajaran yang tiba-tiba berubah jadi nonton film kartun atau kadang sekadar duduk-duduk di luar kelas sambil ngobrol. Pelajaran matematika yang seharusnya berlangsung selama dua jam, mendadak disulap menjadi sesi santai menonton YouTube.

Khoirul, salah satu murid yang rajin, sering merasa bingung. Ia suka belajar dan ingin tahu banyak hal, tapi sekolahnya tidak pernah memberinya kesempatan untuk benar-benar belajar. “Bu, kita kapan belajar yang serius? Biar bisa pintar?” tanya Khoirul suatu kali.

Bu Sri hanya tertawa kecil. “Ah, nanti juga kamu bisa sendiri, Rak. Sekarang nikmati saja hidup. Sekolah ini bukan tempat untuk pusing-pusing.”

Di sekolah ini, murid-murid sering kali lebih pintar dari gurunya. Suatu hari, Bu Rina, guru IPA, memberikan tugas tentang peredaran darah. Namun, ketika salah satu murid, Sarah, bertanya tentang bagaimana sel darah putih bekerja, Bu Rina terdiam dan menjawab, “Hmm… Sel darah putih itu… ya… pokoknya ada di darah, membantu darah ya begitu aja, Sarah.”

Sarah hanya mengangguk, walau dalam hatinya ia tahu jawaban itu salah. Ia sudah membaca buku biologi milik kakaknya yang SMA, dan ia tahu sel darah putih punya fungsi lebih dari sekadar “ada di darah.” Tapi, di SDN Merdeka, memperbaiki jawaban guru bukan sesuatu yang biasa. Jadi, Sarah pun diam, seperti kebanyakan murid lain.

***

Namun, yang paling lucu adalah saat Menteri Pendidikan datang berkunjung ke sekolah itu. Mendengar kabar bahwa akan ada kunjungan dari pejabat penting, seluruh sekolah mendadak sibuk. Guru-guru yang biasanya malas mengajar tiba-tiba menjadi rajin. Papan tulis yang sudah berbulan-bulan tak dihapus, langsung dibersihkan. Bahkan, Bu Sri, yang biasanya suka bolos, hari itu datang lebih pagi dari biasanya, lengkap dengan seragam rapi.

“Anak-anak, besok menteri datang, ya. Jangan sampai bikin malu!” ujar Pak Yusuf, kepala sekolah, sehari sebelum kunjungan.

Saat hari kunjungan tiba, seluruh sekolah terlihat “bersih” setidaknya di luar. Menteri Pendidikan, Pak Seto, datang dengan senyum lebar. Ia disambut oleh guru-guru yang berjajar rapi seperti upacara. Semua tampak normal, sampai ketika Pak Seto mencoba masuk ke salah satu kelas untuk melihat proses belajar-mengajar.

Di kelas 6, Bu Sri sudah menyiapkan “materi” pelajaran untuk diperlihatkan kepada menteri. Tapi, sayangnya, situasi tak berjalan sesuai rencana. Begitu menteri masuk, seorang murid yang polos, Bagas, tiba-tiba berteriak, “Bu, kok hari ini belajar beneran, biasanya kita nonton film!”

Semua guru kaget, sementara Pak Seto hanya tersenyum kecut. “Oh, biasanya nonton film, ya?” tanya Pak Seto, mencoba mengendalikan situasi. Tapi, Bagas, dengan polosnya, menjawab, “Iya, Pak. Bu Sri jarang ngajar. Kalau nggak nonton film, ya, kita disuruh main di lapangan.”

Para guru langsung panik, sementara menteri menahan tawa yang nyaris pecah. Situasi semakin canggung ketika Khoirul, murid yang selalu haus ilmu, tiba-tiba berdiri dan berkata, “Pak Menteri, saya mau tanya. Kenapa ya sekolah ini kok kayak nggak ada aturan? Murid lebih pintar dari guru, dan gurunya jarang mengajar?”

Pak Seto terdiam. Pertanyaan itu menohok langsung ke jantung masalah. Namun, seperti kebanyakan pejabat, ia tak mau merusak citra di depan umum. “Begini, Nak, sekolah itu harus seimbang antara belajar dan bersenang-senang. Tapi terima kasih atas masukanmu. Saya akan pikirkan ini,” jawab Pak Seto dengan senyum yang dipaksakan.

Namun, setelah menteri pergi, tak ada yang berubah di SDN Merdeka. Guru-guru tetap malas, murid-murid semakin tak peduli. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar dan mendidik, malah berubah menjadi tempat bersantai. Para orang tua murid pun sudah lama menyerah. Mereka tahu, berharap anak-anak mereka belajar sungguh-sungguh di sekolah ini adalah hal yang sia-sia.

“Yah, begitulah sekolah. Belajar? Itu nanti saja, yang penting lulus, kan?” ujar salah satu wali murid sambil tertawa.

Di Kota Seadanya, pendidikan bukan soal masa depan, tapi soal kebiasaan lama yang tak pernah diperbaiki.

Loading

Share: