Artikel: Sejarah dan Doktrin Islam Aswaja

Pendahuluan

Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) merupakan aliran utama dalam Islam yang berpegang pada ajaran Rasulullah SAW sebagaimana dipahami oleh para sahabat, tabiin, dan ulama salaf. Aswaja hadir sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan beragama yang seimbang, dengan mengedepankan moderasi (tawassuth), keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), dan keadilan (‘adalah). Nilai-nilai ini menjadikan Aswaja relevan dan aplikatif dalam menghadapi berbagai tantangan di era modern.

Secara doktrinal, Aswaja berdiri di atas tiga pilar utama: akidah, syariah, dan akhlak. Dalam aspek akidah, Aswaja merujuk pada pemikiran Imam Abu al-Hasan al-Ash’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, yang menekankan keseimbangan antara teks wahyu dan rasionalitas. Dalam bidang syariah, Aswaja mengikuti empat mazhab besar fiqh: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, yang menjadi panduan dalam beribadah dan bermuamalah. Sedangkan dalam dimensi akhlak dan spiritualitas, Aswaja mengadopsi ajaran tasawuf yang diajarkan oleh para ulama seperti Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi, yang menitikberatkan pada penyucian hati dan hubungan yang mendalam dengan Allah SWT.

Sejarah perkembangan Aswaja tidak terlepas dari dinamika umat Islam sejak masa awal. Aswaja lahir sebagai upaya menjaga kemurnian ajaran Islam di tengah berbagai tantangan, seperti perpecahan internal dan munculnya aliran-aliran ekstrem. Dengan semangat inklusivitas, Aswaja berperan sebagai penghubung antara berbagai kelompok umat Islam, menawarkan solusi atas konflik dengan menekankan prinsip persatuan dalam keberagaman.

Selain sebagai panduan teologis, Aswaja juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Nilai-nilai Aswaja mendorong umat untuk hidup berdampingan secara harmonis, menjunjung tinggi keadilan sosial, dan berkontribusi pada kemaslahatan umat. Oleh karena itu, memahami sejarah dan doktrin Aswaja tidak hanya penting bagi kalangan akademis, tetapi juga relevan untuk kehidupan sehari-hari umat Islam di seluruh dunia.

A. Sekilas Doktrin Aliran Teologi Asy’ariyah

Aliran teologi yang dibawa oleh Abu Hasan Al Asy’ari dikenal dengan Al As’ariyah, salah satu aliran sunni (Ahlusunnah Wal Jama’ah) aliran ini muncul atas reaksi terhadap pemikiran rasional golongan Mu’tazilah dan kekerasan yang mereka lakukan untuk menyiarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah yang menimbulkan kekerasan dikalangan umat Islam.

Paham qadariah yang dianut oleh golongan Mu’tazilah aliran yang menganjurkan kemerdekaan, kemauan dan kebebasan dalam berfikir dan berbuat. Kaum Mu’tazilah tidak banyak berpegang pada sunnah atau tradisi Nabi dan sahabat sehingga golongan ini disebut pula golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah dan merupakan golongan minoritas. Rakyat biasa yang merupakan mayoritas tidak dapat menyelami ajaran-ajaran mereka yang bersifat rasional dan filosofis itu. Rakyat dengan pemikiran mereka yang sederhana ingin pada ajaran yang sederhana pula. Banyak ahli yang menyimpulkam termasuk ahli sunnah wal Jama’ah yaitu golongan yang berpegang teguh pada sunnah dan merupakan mayoritas sebagai reaksi atau lawan bagi golongan Mu’tazilah yang merupakan golongan minoritas dan tidak kuat berpegang pada sunnah.

Kita mengetahui bahwa aliran ahlu Sunah wal al-jamaah identik dengan ahran Al Asy’ariyah, maka artinya kepercayaan aliran Al Asy’ariyah menjadi kepercayaan ahlu sunnah wal al-jamaah, sunnah dalam term ini berarti hadits dan jama’ah berarti mayoritas ammah al muslinı umumnya umat muslim, dan al jama’ah al kasir wa al sawad al azam (jumlah besar dan halayak ramai) yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, tetapi lama sebelum lahirnya aliran Asyan kata-kata sunnah dan jama’ah telah dijumpai di dalam tulisan tulisan arab (literatur Islam).

Penyebutan ahlu sunnah telah sejak lama dipakai yaitu terhadap mereka yang apabila menghadapi suatu peristiwa, maka dicari hukum hukumnya dari bunyi al-Qur’an dan hadits, dan apabila tidak didapatnya mereka berhenti.diam saja, karena tidak berani melampauinya. Kebalikan dari mereka ialah ahli rayı (golongan rasionalis) yang apabila menghadapi keadaan yang sama, maka tidak berhenti, melainkan berusaha dengan akal pikirannya untuk menemukan hukuin peristiwa yang dihadapinya dengan jalan qiyas atau istihsan dan sebagainya.

Bagaimanapun, yang dimaksud dengan ahlu Sunnah wal jama’ah didalam lapangan teologi Islam adalah kaum Al As’ariyah dan kaum Al Maturidiah.

Term Ahli Sunnah Wal Jama’ah banyak dipakai seperti timbulnya aliran-aliran Al Asy’ariyah dan Al Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Aliran Ahlusunnah Wal Jama’ah muncul atas keberanian dan usaha Abu Hasan Al Asy’arı di tahun 900M. Ia lahir ditahun 260H/813M dan menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun. Dan dia adalah murid Al Jubba’i, seorang tokoh Mutazilah yang terkemuka di Basrah. Integritas Asy’ari dalam paham Mu’tazilah mengklasifikasikan mereka sebagai kelompok yang menihilkan perbuatannya. Sebagaimana ia mengklarifikasikan Mu’tazilah sebagai yang menihilkan sifat-sifat Allah, karena mereka menegaskan kemampuan dan kehendak dari seseorang dan menihilkan perbuatannya. la sejalan dengan Mu’tazilah bahwa istata’ah (kemampuan) itu mendahului aksi. Dan sebagai pangkal bagi taklif yang barang siapa tidak mempunyai kemampuan ia tidak terkena taklif, istata’ah juga datang bersamaan dengan perbuatan yang dengannya perbuatan terjadi.

Karamiah adalah jamaah (kelompok) yang mucul pada pertengahan pertama dari abad ke-3 Hijriah atas prakarsa Muhammad Ibn Karam (255H/869M) hingga mampu bertahan 4 abad, pendirinya bukan pemikir orisnal, ia mencukupkan diri dengan mengambil inspirasi dari aliran aliran doen dan memiliki sejumlah pendapat yang kontradisi, misalnya ia sependapat dengan kaum salaf mengatakan bahwa Allah SWT mempunyai sifat-sifat, tetapi ia menggambarkan sifat-sifat is sedemikian rupa dengan berlandaskan pada sikap antropomorhis dan tajsim (membadankan, menjisimkan tuhan) ia sejalan dengan Mulazilah mengatakan bahwa Allah harus diketahui dengan akal dan ia mengatakan bahwa baik dan buruk itu bisa ditentukan dengan akal.

Al Asy’ariyah mengklarifikasikan orang-orang karamtah termasuk deretan kaum Murjiah, karena mereka mengatakan bahwa iman adalah tasdik (membenarkan) dan Ikrar dengan lisan Al Baghdadı mengklasifikasikan mereka sebagai kaum ahli bid’ah karena mereka melakukan banyak perbuatan yang dikategorikan tindakan sesat dan mengada-ada. Orang-orang karamiah mencampur adukkan antara tasawuf dengan sikap permisıf Misalnya mereka mengatakan bahwa shalat yang dilakukan oleh musafir itu cukup dengan takbir, ruku dan sujud, dan shalat boleh dilakukan walau dalam keadaarı najis badan dan pakaian.

B. Teologi Asy’ariyah di Indonesia

Dalam konteks situasi dan kondisi historis tertentu yang dihadapi kaum muslim Indonesia terhadap perubahan dalam pemahaman teologi Asy’ariah yang dipandang mayoritas di Indonesia, sebagaimana yang dikutip dari Azyumardi Azra bahwa secara historis teologi Islam yang dominan di Indonesia muncul pada awal masa Islam yaitu aliran Asy’ariah. Dalam mazhab Sunni terdapat aliran-aliran teologi lainnya selain aliran teologi asy’ariyah seperti aliran Mu’tazilah.

Tetapi dalam perkembangan sejarah, aliran teologi mutazilah yang sangat menekankan kepada kebebasan berpikir dan berkarya, setelah tidak lagi menjadi teologi resmi dinasti Abbasiyah, kemudian dipandang sebagai semacam “teologi sempalan” dalam tradisi Sunni. Ini terlihat dari cukup banyaknya literatur Sunni yang mengecam Mu’tazilah, sembari mengingatkan kaum Muslim untuk tidak “tersesat” mengikuti paham teologis ini.

Paham teologi Asy’ariyah sebagaimana yang diketahui kebanyakan cong berbeda dengan aliran teologi Mu’tazilah. Dengan nada lain, kontra dengan teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah menekankan pada ketenundukan manusia kepada takdir yang telah ditetapkan Tuhan (predestination) yang mana sejak zaman azali telah ditentukan Artinya, segala bentuk perbuatan manusia tidak lagi memiliki kuasa. Meskipun, manusia memiliki keinginan akan tetapi tetaplah hahwa dalam pandangan Asy’ariyah ini sejatinya manusia akan berkesan merupakan sebuah wayang di tangan sutradara, yakni Tuhan.

Pada sisi lain, aliran teologi Mu’tazilah menunjukan sebaliknya. Dalam hal potensi dan kemampuan manusia-lah yang menciptakan perbuatan-perbuatan mereka, sehingga manusia bebas berkehendak sesuan yang dilakukannya (free will) Paham teologi Mu’tazilah ini berkesan bahwa perbuatan baik atau buruk yang dilakukan manusia adalah pada dasarnya sebagaimana yang dikehendakinya, artinya bahwa manusia dibekali daya akal rasional yang sebelum melakukan suatu perbuatan mereka terlebih dahulu berpikir. baik atau buruknya suatu perbuatan tersebut.

Azyumardi Azra menambahkan bahwa paham teologi Asy’ariyah semakin berkembang di Indonesia ketika sejumlah ulama yang belajar di Timur Tengah, terutama di Mekkah dan Madinah kembali ke Indonesia sejak dari abad ke 17-an. Mereka yang dianggap mempelajari dan mengikuti paham aliran teologi Asy’arıyah dari Timur Tengah, hingga kemudian mereka menyebarkan melalui karya-karya dalam bentuk kitab yang

ditulis ke berbagai tempat di wilayah Indonesia, atau melalui penyebaran lainnya seperti bentuk media dakwah secara langsung dan pengajaran-pengajaran yang terdapat dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Senada dalam konteks ini. Harun Nasution menyatakan bahwa sekolah-sekolah model Barat seperti halnya yang terdapat pada dunia Islam Timur Tengah juga berkembang di Indonesia meski terlihat lambat pada kısaran abad 20. Pemikiran rasional filosofis dan ilmiah masuk dalam masyarakat muslim Indonesia pada abad ke 20 M. akan tetapi, pemikiran rasional dan filosofis dikembangkan oleh pendidikan model Barat hanya saja tidak menimbulkan teologi sunatullah di Indonesia kecuali di kalangan kecil umat. Sementara, kaum terpelajar dari model Barat sendiri masih banyak dipengaruhi oleh paham qada dan qadar, dan keliatannya kurang mantap dengan pendapat sunatullah atau hukum alam (natural law), ciptaan Tuhan dan kausalitas.

Akhirnya, kaum terpelajar terlihat terombang- ambing antara keyakinan terhadap qada dan qadar yang diperoleh melalui pendidikan agama dan pengalaman model pendidikan Barat dan hukum sunatullahnya. Mereka masih belum yakın bahwa kesuksesan dan kegagalan dalam usaha bergantung pada ikhtiarnya masing-masing. akan tetapi mereka merasa hahwa qada dan qadar Tuhan masih mempunyai peranan dalam keterlibatanya.

Pada saat yang sama kaum terpelajar agama yang dikenal dengan nama ulama tidak kenal dengan teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiahnya. Yang mereka kenal sejak semula adalah teologi kehendak mutlak Tuhan dengan pemikiran tradisional, non filosofis dan non ilmiah. Sejarah perkembangan pemikiran Islam tidak diajarkan baik di madrasah maupun di pesantren. Maka kalua disebut teologi sunnatullah mereka terkejui Dan menganggap hal itu dipandang tidak Islami Yang hanyak berlembang di Indonesia sampai dewasa ini adalah teologi kehendak mutlak Tuhan dengan qada dan qadarnya yang tak menyokong bagi peningkatan produktivitas.

Pasca gagal kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965, Islam muncul kembali sebagai faktor penting dalam kehidupan sostal politik Indonesia, ekspresi Islam yang tertekan selama masa kejayaan PKI., kim perlahan tapi pasti tampil secara lebihn nyata dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia Perkenaan dengan Islam yang berkembang ini dalam evolusinya lebih akhir memunculkan proses yang sering disebut sebagian pengamat sebagai “Santrinisasi” Masyarakat Muslim Indonesia.

Paham aliran asy’ariyah menjadi pilihan sebagai fokus kajian yang sangat mendalam pada penelitian ini, karena penulis melihat aliran pemikiran ini adalah mayoritas di dunia Islam dan memiliki pengikut yang sangat besar yang tersebar di berbagai belahan negeri yang mayoritas berpenduduk muslim juga pengaruh yang kuat di tengah-tengah masyarakat Indonesia, khususnya paham Asy’arı sangat berpengaruh mewarnai pemikiran dan teologi kaum santri di pesantren pesantren di Indonesia dan dunia, teologi yang mereka kembangkan bercorak tradisional.

Islam tradisionalis merupakan salah satu corak paham ke-islaman yang paling popular dan banyak dianut oleh masyarakat Islam Indonesia. Paham ke-Islaman yang sering dikonfrontir dengan Islam modernis ini sering dituduh sebagai penghambat kemajuan dan membawa kemundaran umat Islam. Berbagai pemikiran yang dimajukan kalangan modernis sering ditujukan untuk membawa amat kepada kemajuan, dengan terlebih dahulu meninggalkan sikap tradisionalisnya.

C.     Pemikiran Islam Tradisionalis

Kata tradisionalis yang berada dibelakang kata Islam, berasal dari Bahasa Inggris tradition yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menjadi tradist Kata tradisi diartikan segala sesuatu, seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya yang turun temurun dari nenek moyang. Dalam Bahasa Arab kata tradisi biasanya diidentikan dengan kata sunnah yang secara harfiah berarti jalan, tabi’at, peri-kehidupan Sunnah dalam pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian sunnah yang terdapat dalam hadist yang berbunyi :

من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها

Barang siapa yang mengadakan suatu keluasaan baik, maka bagi orang itu akun mendapat pahala, dan pahala bagi orang yang melaksanakan kebiasaan tersebut”

Bahwa ulama umumnya mengartikan bahwa yang dimaksud dengan kebiasaan yang baik itu adalah segenap pemikiran dan kreativitas yang dapat membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat. Yang termasuk ke dalam kategori tradisi seperti itu adalah mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Mi’raj, Tahun Baru Hijriyah dan sebagainya.

Aliran yang dikemukakan diatas merupakan paham aliran Islam tradisional. Pemikiran  teologi  tradisional  membawa  dampak  langsung  terhadap  pemahaman keberagamaan dan pola hidup yang sempit dan fatalisme dikalangan para pengikutnya, karena bagi mereka banyak berpegang teguh kepada kehendak mutlak tuhan. Sehingga semua yang terjadi di alam ini berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan, kehendak Tuhan berlaku semenjak jaman azali dan segalanya telah ditakdirkan Tuhan sejak jaman azali pula. Maka bagi kaum tradisional manusiapun menunggu berlakuknya kehendak mutlak Tuhan yang azali itu bagi pengama paham teologi tradisional biasanya akan menimbulkan sikap pasif dan statis dan dalam memahami persoalan-persoalan pemahaman keberagamaan dan pola hidup.

Pemikiran teologi tradisional adalah pemikiran teologi yang tidak memungkinkan dalam kebebasan kehendak dan berbuat kepada manusia, daya dan kemampuan yang kecil bagi akal, kekuasaan Tuhan dalam mutlak serta dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an sangat terikat dengan makna harfiah. Pemikiran teologi yang demikian akan membentuk paham tradisional akan ajaran Islam serta tertanam sikap fatalistis dalam diri manusia.

D. Ahlussunah wa al-Jama’ah dalam Pandangan KH. Hasyim Asy’ari

Secara etimologi, term ahl sunnah wa al-jama’ah berasal dari kata “ahl” yang berarti adalah pengikut suatu golongan, atau madzhab. Sedangkan, kata “al-sunnah” adalah segala apa yang disandarkan kepada nabi Muhammad, kemudian kata “al- jama’ah” adalah segolongan orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama, Jadi, ohl sunnah wa al- jama’ah adalah sekelompok orang yang berada pada madzhab tertentu yang sesuai dengan segala yang disandarkan kepada nabi Muhammad Sedangkan, secara istilah dalam kalam, ahl sunnah wa al-jama ak adalah istilah dalam suatu madzhab yang sudah lama ada sejak zaman sahabat nahi hingga sekarang. Pemberian nama itu, merupakan suatu pembeda antara aliran ahl sunnah wa al-jama ah dengan madzhab yang lain.

Dalam konteks int. frasa ahl sunnah wa al-jama ah merujuk kepada pemikiran teologi Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturıdı dalam perspektif Hasyum Asy’ari. All sunnah wa al-jama’ah yang berkembang di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri dari paham ahl sunnah yang ada pada umumnya. Ahl sunnah wa al-jamo ah yang ada di Indonesia berpegang tegal: pada salah satu madzhab yang empat, yaitu Imam Syafi’i. Kemudian dalam perkembangan juga tidak terlepas dan konteks budaya yang terdapat di Indonesia.

Menurut Hasyim Asy’ari, all sunnah wa al-juma’ah sebagaimana dikatakan dalam kitabnya bahwa ahl sunnah wa al-jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahle hadits dan fiqih mereka-lah yang mengikan dan berpegang teguh dengan surmah nabi dan sunnah khulafaurasyrdin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yakni Imam Hanafi, Malikı, Syafi’i dan Hanbali.

Pembahasan mengenai abil sunnah wa al-jana ah merupakan pembahasan yang terpenting karena paham ini menjadi landasan dan basis pemikiran dari seluruh pandangan keagamaan Hasyim Asy’ari. Karenanya, keutamaan dari paham aki sunnah wa al-jama’ah sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Abdullah al- Hararı (1328-1429 H/1910-2008 M) dalam kitabnya ia berkata: hendaklah diketahui bahwa ahl sunnich, adalah mayoritas umat Muhammad SAW, mereka adalah para sahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip akidah, Sedangkan, al-jama’ah adalah mayoritas terbesar (al-sawad al-azham) kaum muslimin.

Kemudian Hasyim Asy’ari mendefinisikan tentang sunnah dan bid’ah, Menurutnya, sonak adalah jalan vang diridhat yang telah diajarkan oleh rusul pada sahabat, seperu disampaikan oleh rasul pada sahabat tetaplah kalian pada sunnah. ku dan khulataur- vasvidin setelah-ku. Sementara, bid ah adalah membuat hal yang baru pada agama dan tidak ada dasarnya (asal) dalam al-Qur’an dan hadits.

Dalam hubungan ini. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu karakter dan ulama lawa yang mempunyai karakteristik tersendiri yang unik dan khas Indonesia. M.C Ricklets dalam bukunya. Polarisang Javanese Society Islamic and Other Vision (1830-1930) seperti dikutip oleh Zuhairi Mısrawı, menyebutkan setidaknya ada tiga corak keber-Islam-an di Jawa sebagaimana berikut:

  1. Corak keislaman yang memanifestasikan identitas keislaman yang sangat kuat, misalnya, Sultan Mangkubumi di Yogyakarta adalah seorang Raja Jawa yang sejak muda ditempa dengan pendidikan keagamaan yang ketat, seperti pembelajaran asketisme dan menghafal al-Qur’an.
  2. Corak keberislaman yang menyintesiskan mistisisme dengan ajaran Islam yang fundamental, seperti rukun Islam. Dalam hal ini, meskipun meyakini mistisisme sebagai sebuah kebudayaan pada waktu itu, mereka tidak meinggalkan rukun Islam yang lima. Hal itu dapat ditemukan dalam Serat Wulungreh yang menggabungkan mistisisme dan rukun Islam.
  3. Corak keberislaman yang mengakomodasi kekuatan spiritual lokal Maksudnya, nilai-nilai keislaman tidak dipertemangkan dengan nilai-mias keantan lokal, bahkan justru dilakukan interaksi dan akulturasi dengan kebudayaan setempat. Mangkunegara 1 tidak hanya seorang yang taat dan saleh, tetapi juga mempunyai hubungan yang khusus dengan Sunan Lawu dan mempunyai kepercayaan yang sama tentang Ratu Kidul.

Gambaran keberagamaan masyarakat Jawa seperti yang digambarkan di atas menurut Zuhariri Misrawi mempunyai nilai plus karena memungkinkan seleksi kultural dari paham-paham trans-nasional yang menganut paham

Gambaran keberagamaan masyarakat Jawa seperti yang digambarkan di atas menurut Zuhariri Misrawi mempunyai nilai plus karena memungkinkan seleksi kultural dari paham-paham trans-nasional yang menganut paham dan sikap keberagamaan yang hanya bersifat hitam-putih. Faktanya, keberagamaan kalangan pesantren yang merupakan mayoritas cenderung menolak dan menentang keras paham trans-nasional tersebut karena tidak sesuai dengan kearifan local.

Berkaitan dengan penjelasan corak keberislaman seperti yang telah diuraikan di atas, dalam konteks zaman Hasyim Asy’ari pada ketika itu telah muncul adanya Revivalism Islam yang adalah suatu gerakan keagamaan yang disebabkan karena umat Islam memiliki kekhawatiran yang luar biasa apabila nilai-nilai islami terkikis pengaruh kolonialisme dan Barat, dan bertindak tidak sesuai dengan Islam. Dalam hubungan ini tampil Raja Saudi Ibnu Saud dengan menyusung madzhab Wahabi-Nya yang mengharamkan ziarah kubur karena dianggap bid’ah Tokoh lain yang anendukung revivalisme adalah Muhammad Abduh dengan gerakan pembaharuan pemikiran Islam dan bermat mengembalikan ajaran Islam pada ajarannya yang murni serta melepaskan umat dari keterikatan dengan madzhab.

Ahmad Dahlan merupakan pihak dari Indonesia dan salah satu tokoh yang mendukung hingga mengembangkan pemikiran pembaharuan revivalisme Islam oleh Muhammad Abduh. Sementara itu, pihak dari Indonesia lainnya yang menolak adalah ulama pesantren yang salah satunya ialah Hasyim Asy’an. Meski demikian, secara prinsip Hasyim Asy’ari setuju dengan gagasan pembaharuan pemikiran Muhammad Abduh, hanya saja ia menolak untuk melepaskan umat Islam dari keterikatan dengan madzhab. Karena menurut Hasyim Asy’ari sangatlah sulit bagi umat Islam yang awam melepaskan diri dari keterikatan dengan madzhab dalam praktik keagamaannya, dan dalam memahami al-Qur’an dan hadits.

Hasyim Asy’ari dalam memilih ahlu sunnah wa al-jama’ah sebagai dusar dari pemikiran teologi atau kalamnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ialah:

  1. Madzhab ahl sunnah wa al-jama ak adalah golongan yang selamat, dilandasi oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurawah sebagaimana dikutip oleh Zuhrı, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “kaun Yahudi akan pecah menjadi 71 golongan, dan kaun Nasrani akan terpecah menjadi 72 golongan, dan ummat-ku juga akan terpecali menjadi 73 golongan semuanya masuk ke dalam neraka kecuali hanya satu golongan” Kemudian para sahabat bertanya, stapakah mereka itu? Wahai Rasulullah Rasulullah menjawab, “mereka itu adalah orang yang menganut ajaran-ku dan ajaran para sahabat.” Hasyim Asy’ari dalam menafsirkan hadits tersebut sebagai bagian dari ulama kalam yang berpaham ahl sunnah wa al-jama’ah dalam memahami hadits tersebut bermakna bahwa golongan yang selamat adalah golongan ahl sunnah wa al-jama ah. Hal ini dikarenakan golongan ahl sunnah wa al-jama ah sesuai dengan ajaran yang ada dalam al-Qur’an dan hadits dan apa yang diajarkan oleh Nabi SAW dan apa yang diikuti oleh para sahabat.
  2. Madzhab ahl sunnah wa al-jama’ah adalah al-sawad al-azham dengan berlandaskan pada hadits yang disampaikan Ibnu Majah dengan hadits yang artinya: “Apabila kamu mendapati perbedaan pendapat antar suatu golongan, maka yang harus kamu lakukan adalah memilih pendapat yang lebih banyak dipilih oleh mayoritas ulama. “Berdasarkan pada hadits ini. Hasyim Asy’arı menegaskan bahwa memilih madzhab ahl sunnah wa al-jama’ah adalah pilihan yang tepat, karena ia adalah madzhab yang paling banyak diikuti oleh ulama- ulama salaf, yang juga mereka adalah merupakan ulama empat madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
  3. Madzhab all sunnah wa al-jama’ah adalah madzhab yang wajib bagi amat Islam untuk mempertahankannya. Hasyim Asy’ari sangat mendukung madzhab ahi sunnah wa al-jama’ah dan aktif mengembangkan madzhab ini untuk kepentingan mengembangkan madzhab tersebut Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama (NU).

E. KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdhatul Ulama (NU)

Hasyim Asy’ari merupakan tokoh penting pemrakarsa berdirinya organisasi kemasyarakatan Islam tersebar di Indonesia, bahkan kini di dunia. Nahdhatul Ulama membicarakan kebesaran figur Hasyim Asy’ari yang tidak bisa dilepaskan dari ketokohan beliau dalam membidani lahirnya organisasi Nahdhatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926. Latar belakang didirikannya Nahdhatul Ulama adalah karena semakin meluasnya paham-paham keislaman di kalangan masyarakat yang digaungkan oleh kaum modernis (pembaharuan) yang dianggap kurang tepat Adanya gejala-gejala yang kurang kurar baik dalam kehidupan umat Islam di Indonesia dan perlakuan yang kurang baik oleh kolonial Belanda terhadap kaum pribumi.

Di Indonesia mayoritas umat Islam mengkategorikan dan mengidentifikasi dirinya atau kelompoknya sebagai bagian dari ahl sunnah wa al-jama’ah, akan tetapi sebagian lainnya walaupun tidak secara eksplisit menyatakan sebagai pengikut paham ahl sunnah wa al-jama’ah mereka tetap keberatan apabila diidentifikasi sebagai kelompok non-sunni.

Kelompok pertama diwakili oleh kalangan pesantren atau yang dalam kajian sosiologis sering disebut kelompok Islam tradisionalis. Kelompok ini antara lain dipresentasikan oleh Nahdhatul Ulama (NU) Porsattuta Tarbiyah Islamiyah (PERTI) Jam’iyah al-Washiyah dan lain-lain. Sedangkan, yang kedua dipresentasikan oich kelompok pendukung gerakan pembaharuan Islam, atau yang dalam kajian sosiologis sering disebut Islam modernis. Kelompok ini mengkonsolidasikan kegiatan mereka melalui organisasi-organisasi Jamiyat al-Khaer, al-Irsyad Muahammadiyah, Persatuan Islanı (PERSIS) dan lain-lain.

Penegasan doktrin ahl sunnah wa al-jama’ah mendesak untuk segera dilembagakan sebagai respon dari benturan budaya-budaya dengan Islam modernis Melalui semangat dan atas nama permarnian Islam, gerakan pembaharuan mereka yang ingin memberhangus tradisi keislaman yang lazim berlaku di kalangan pesantren. Di Indonesia umumnya dan di Jawa khususnya, figur kyai Hasyim Asy’ari memiliki pengaruh yang sangat besar menurut Khuluk bahwa terdapat dua hal yang menjadikan kyai Hasyim Asy’ari memuliki pengaruh, vatu karena reputasi ası intelektualnya melalui karya akademiknya yang Intas disipliner: teologi tasawuf, pedagogi, fiqh maupun isi pidato-pidatonya yang banyak dimuat di Surat Kabar pada waktu itu.

Dari gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan awal baliwa penyebaran al sumah wa al-jama ah secara kelembagaan mulai menemukan bentuknya setelah kelahiran organisasi Nahdhatul Ulama (NU) yang dipimpin kyai Hasyim Asy’ari, peran sentral yang dimainkan olehnya kemudian diperkuat dengan memperkenalkan konseptualisasi ahl sunnah wa al-jama’ah yang didefinisikan sebagai mereka para ulama ahli tafsir al-Qur’an, hadits dan fiqh yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad SAW dan khulafour-rasyiddin (Abu Bakr, Umar, Ustman, Ali) lebih spesifik, terminologi ahl Sunnah wa al-jama’ah menurutnya adalah pengikut empat madzhab dalam fiqh: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Pelembagaan teologi all sunnah wa al-jama’ah melalui organisasi Nahdhatul Ulama (NU) merupakan upaya Hasyim Asy’ari bersama kya-kyai yang lam untuk melindungi tradisi dan kebudayaan Islam yang selama ini berlaku di kalangan Islam tradisional. Maka, tidak heran apabila melalui karyanya, Risalah ahl Sunnah wa al- Jama’ah Hasyim Asy’ari mengurai polarisasi Islam di Indonesia pada waktu itu.

Polarisasi yang dimaksud Hasyim Asy’ari adalah bahwa di Jawa telah banyak terjangkiti sebuah paham yang cenderung membolehkan melakukan apa saja (bahiyun). Kelompok ini menurut Hasyim Asy’ari ditandai dengan perilaku melampaui batas dalant mencintai sesuatu hingga bisa menggelapkan hati lebih memilih “doktrin teologi” non- muslim dari pada tetap memegang teguh prinsip kebenaran dan berpotensi menggugurkan kewajiban pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar Timbulnya paham Wahabisme kisaran tahun 1330 H-paham Wahabi telah mulai menampakkan diri di tanah Jawa, Hasyim Asy’ari menyebut mereka sebagai pengikut bid’ah Muhammad bin Abdul Wahhab.

Hasyim Asy’ari menyinggung nama-nama tokoh besar dari kalangan mereka seperti Imam Ibnu Tamiyah. Ilmu Qayyım al-Jauzi, Muhammad Abduh, Syaikh Rasyd Ridha- menurutnya kesalah aliran atau golongan ini adalah dengan berannya mengharamkan ziarah ke makam nabı Muhammad SAW. 155 Munculnya kelompok Rafidah, kelompok itu juga mulai bermunculan di zaman Hasyim Asy’arı. Beliau menyebutnya kaum Rafidah, yaitu kelompok Syi’ah yang senantiasa mencela sahabat nabi seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Kelompok ini sangat mengistimewakan Ali bin Abi Thalib, karena terlalu fanatiknya mereka dengan Ali bin Abi Thalib, karena terlalu fanatiknya mereka dengan Ali hingga tidak segan mengkafirkan sahabat nabi yang lainnya.

Kemudian berkembangnya paham reinkarnasi, kelompok ini adalah kelompok orang Islam yang meyakini bahwa bagus dan tidaknya takdir seseorang tergantung darı jasadnya, kalau jasadnya baik dan ada kemiripan dengan orang-orang shaleh sebelumnya, maka menurut mereka orang itu akan baik nasibnya.” Kelompok reinkarnasi ini tampaknya masih menyimpan sedikit banyak tentang analogi dan sisa-sisa pengaruh agama Hindu yang mempercayai konsep reinkarnasi yang artinya kelahiran kembali seseorang yang telah mengalami tiga proses, yaitu karma (hasil perbuatan selama hidup), samsara (kelahiran yang berulang-tahun), mokhsa (tujuan akhir dari kehidupan).

Hasyim Asy’ari mengkritik pemikiran mereka karena dianggap merusak tatanan keimanan pada qada dan qadar Allah. Jiwa nasionalisme Hasyim Asy’ari yang sangat besar terhadap bangsa Indonesia ditunjukkan pula dengan adanya resolusi Nahdhatul Ulama tentang jihad fi sahihiloh yang ditanda-tangani Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Resolusi jihad tersebut dimaklumatkan sebagai seruan kewajiban bagi setiap umat Islam untuk mempertahankan agama Islam dan kedaulatan negara republik Indonesia. Resolusi tersebut sangat efektif dalam menggerakkan bangsa Indonesia menghadapi penjajah ketika terjadi pertempuran 10 Nopember di Surabaya. Oleh sebab itu, Pemerintah Republik Indonesia kemudian menetapkan Hasyim Asy’arı sebagai Pahlawan Nasional Indonesia tanggal 10 November sebagai Harı Pahlawan Nasional dan tanggal 12 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

KESIMPULAN

Teologi Asy’ariyah, yang menekankan ketundukan manusia pada takdir Tuhan, muncul sebagai reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang mengutamakan kebebasan berkehendak. Di Indonesia, aliran ini berkembang pesat sejak abad ke-17 melalui ulama yang belajar di Timur Tengah, dan tetap dominan meski ada pengaruh pemikiran rasional Barat. Paham qada’ dan qadar tetap berperan penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia.

Pemikiran Islam tradisionalis mengutamakan keyakinan pada takdir Tuhan dan praktik agama yang diwariskan. Ahlussunah wa al-Jama’ah (ASWAJA) adalah paham utama yang dipromosikan oleh Hasyim Asy’ari melalui Nahdlatul Ulama (NU), yang menekankan pentingnya empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) dan menentang aliran yang dianggap bid’ah. Hasyim Asy’ari berperan dalam melindungi tradisi Islam di Indonesia, menanggapi pengaruh kolonial dan gerakan Islam modernis.

Daftar Pustaka

B F Drewes And Julianus Mojau, “Apa Itu Teologi? : Pengantar ke dalam Ilmu Teologi”, BPK Gunung Mulia; 2024.

Muhammad Hasbi, “Ilmu Kalam Memotret Berbagai Aliran Teologi Dalam Islam” ; Trustmedia Publishing: 2015.

Mahmuddin, “Pengaruh Faham Asy’ariy Pada Pemikiran Masyarakat Tradisional.” Jurnal Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran  Islam 21, No. 2 (2017) 69-76.

Mustofa Abdul Razim, Tahmid Li Tarkh Wa Al-Falasafi Al Islamiyah: Kairo, 1959. hlm 289

 

 

Ditulis oleh Yumni Al Hilal, Disampaikan pada Acara MAPABA PK PMII Univ. Cendekia Abditama, pada Selasa 23 Desember 2024.

Loading

Share: